Beberapa waktu yang lalu, saya study banding di sangiran, one of a wonderful place ! Tepatnya tanggal 28 April 2012.
Disana tidak hanya dapat melihat banyak koleksi mengenai fosil-fosil yang ditemukan para peneliti, tetapi kita juga bisa belajar banyak hal mulai dari koleksi fosilnya sendiri, diorama, teori-teori dan para peneliti, film, situs-situs yang ada, hingga menikmati pemandangan yang indah dari atas gardu pandang.
Well, untuk tugas kuliah pastinya kami diberi tugas untuk melihat dan mengkaji apa yang kita dapatkan di Sangiran dari sisi Biologi, lebih khususnya Evolusi. Tetapi tentu saja berkaitan dengan ilmu-ilmu yang lain. Mungkin catatan kecil ini bisa bermanfaat ... Check this out guys!
SANGIRAN
Museum ini terletak di Desa Krikilan, Kalijambe, Sragen (kurang lebih 3 km dari Jalan Solo-Purwodadi). Museum ini menampung semua koleksi temuan fosil di Kawasan Cagar Budaya Sangiran yang mempunyai luas areal 56 km2. Museum ini dibangun pada tahun 1980 yang menempati areal seluas 16.675 m2 dengan bangunan bergaya Joglo, yang terdiri atas Ruang Pamer dan Ruang laboratorium. Pada kesempatan kunjungan yang telah dilakukan, rombongan tidak melakukan kunjungan ke ruang laboratorium yang merupakan tempat dilakukannya konservasi terhadap fosil-fosil yang ditemukan. Sedangkan kunjungan dilakukan di Ruang pamer yaitu ruang utama tempat koleksi terdisplay dan ruang pemutaran film. Ada 3 ruang pamer, Ruang pamer 1 yang berisikan persebaran fosil yang ditemukan di Sangiran; Ruang pamer 2 berisikan artefak manusia purba, teori dan ahlinya,tahap perkembangan dari kala Pliosen akhir hingga holozen, urutan lapisan bumi, dan proses evolusi manusia; serta Ruang pamer 3 berisikan display manusia purba.
Sekitar Jaman Pleiosen (±2 juta tahun yang lalu) dan selama jaman Pleistosen Bawah (hingga 1,7 juta tahun yang lalu), merupakan masa lahirnya bagian timur Pulau Jawa. Pada waktu itu aktivitas vulkanik dan tektonik mulai membentuk rangkaian gunung api yang besar (yang masih aktif hingga sekarang) serta jajaran perbukitan yang kini mencirikan pemandangan umum di Jawa. Di kaki selatan pegunungan Kendeng dapat kita jumpai singkapan lapisan-lapisan yang ada pada jaman Pleiosen dan Pleistosen yang diendapkan di bagian utara depresi Solo. Lapisan tersebut telah mengalami fase tektonik akhir dari proses pelipatan di daerah Perbukitan Kendeng. Iklim di Indonesia sejak 2,5 juta tahun yang lalu sangat dipengaruhi oleh adanya jaman Glasial (masa pembekuan es) dan Interglasial (masa pencairan es). Jaman glasial mempengaruhi susurtnya air laut sehingga terbentuk daratan baru yang menghubungkan pulau Jawa dengan benua Asia. Jembatan daratan inilah yang memungkinkan terjadinya migrasi dari daratan Asia menyebar ke pulau Jawa serta pulau-pulau lainnya. Akibatnya hewan-hewan dan jugaPithecanthropus pada waktu itu dapat menghuni berbagai tempat yang baru terbentuk. tererosinya relief-relief tersebut mengakibatkan terjadinya endapan-endapan sedimen daratan yang banyak mengandung fosil.
Kubah Antiklinal Sangiran
Disangirab ditemukan banyak fosil dikarenakan keistimewaan daerahnya yang berbentuk Dome atau sering disebut Kubah Sangiran. Kubah antiklinal ini terjadi melalui proses yang rumit dan begitu lama, terbentuk karena pengangkatan tanah (orogenesa). pengangkatan tersebut dilakukan oleh kekuatan gerakan endogen dari dalam tanah dan gerakan eksogen berupa tekanan dari luar yang melipat tanah sehingga membentuk kubah. Ujung kubah yang mengalami erosi menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap sehingga formasi kalibeng, pucangan, grenzbank, kabuh dan notopuro dapat terlihat. Formasi tersebut terbentuk berdasarkan komposisi batuan yang meliputi butiran, tekstur, warna, dan kandungan fauna yang menyertainya. Dari formasi-formasi inilah para peneliti dapat menentukan umur fosil yang ditemukan dan bagaimana kondisi lingkungan pada saat itu.
Sejarah Penelitian Manusia Purba
Sejak awal dicetusan teori evolusi. Kepulauan Indonesia telah menjadi daya tarik sendiri bagi pemburu fosil the missing-link. Tidak saja karena disebut-sebut oleh A.R. Wallace sebagai salah satu tempat yang sangat mungkin menyimpan fosil the missing-link, tetapi juga karena Indonesia sudah terbukti menghasilkan fosil-fosil hewan purba. Kekayaan fosil hewan purba di Indonesia dietahui oleh para ahli Eropa dari Raden Saleh dan F.W. Junghuhn.
Raden Saleh adalah maestro seni lukis Indonesia yang akrab dengan orang Eropa. Selain melukis ia juga senang mengumpulkan benda-benda yang unik, termasuk fosil hewan purba dari sangiran yang ketika itu dikenal oleh masyarakat sebagai “balung buto” (tulang manusia raksaksa). Kadang Raden Saleh menunjukkan fosil koleksinya kepada orang Eropa, sehingga diketahui pula oleh para ilmuan disana.
F.W. Junghuhn adalah seorang ahli ilmu hayat yang banyak menjelajahi hutan belantara dan tempat-tempat terpencil di Indonesia yang kaya akan hewan dan tanaman. Ketika berada di Jawa, ia pernah singgah ke situs Patiayam, dekat Kudus, dan Kedungbrubus, dekat Sragen, yang dilaporkan banyak mengandung fosil.
1888
Pada tahun 1888, seorang peneliti tambang marmer B.D. van Rietschoten di Wajak, Tulungagung. Fosil ini lalu dikenal sebagai Homo Wadjakensis.
1887-1891
Namun, perburuan fosil manusia purba yang sesungguhnya dimulai oleh seorang dokter Belanda Eugene Dubois yang datang ke Indonesia pada tahun 1887. Sejak dari Eropa ia sudah bertekad untuk mencari fosil the missing-link. Awalnya ia meneliti di Sumatera, tetapi setelah mendengar temuan fosil dari Wajak ia pindah ke Jawa. Tahun 1889, Dubois menemuan fosil tengkorak ke dua di Wajak. Selanjutnya tahun 1890-1891, Eugene Dubois menemukan rahang bawah manusia purba di Kedungbrubus (Sragen) serta atap tengkorak dan tulang paha manusia purba di Trinil, desa kecil dekat Ngawi. Fosil dari Trinil, ia namai sebagai Pithecanthropus Erectus. (Kini disebut Homo erectus erectus) dan dianggap sebagai the missing-link.
1906-1908
Ketika Dubois kembali ke Eropa, penelitian di Trinil dilanjutkan oleh Emil E.Selenka yang melakukan penggalian besar-besaran di situs ini pada tahun 1906-1908. Bahkan ia mengerahkan penduduk untu menjaring fosil di Bengawan Solo.
1926
Tahun 1926, ahli geologi L.C.J. van Es meneliti gua-gua di daerah Sampung, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan penggalian arkeologis pertama oleh P.V. van Stein Callenfels yang menemukan beberapa kubur manusia purba di Gua Lawa.
1931-1943
Tahun 1931, perburuan manusia purba di Indonesia meningkat kembali dengan kedatangan G.H.R. von Koenigswald, ahli paleontology dari Jerman yang menjadi pegawai di Jawatan Geologi Bandung. Koenigswald di bantu oleh W.F.F. Oppenoorth, C. Ter Haar, dan van Es juga meneliti situs-situs di Perning (dekat Mojokerto), Ngandong ( dekat Blora), dan Punung (dekat Pacitan).
Tahun 1931, di situs Ngandong ditemukan fosil tengkorak Pithecanthropus Soloensis ( Homo erectus Soloensis) oleh ter Haar dan Oppenoorth. L.C.J van Es memetakan situs Sangiran pada tahun 1932.
Tahun 1936, ditemuan rahang bawah Pithecanthropus (sekarang Homo Erectus) di Sangiran. Di Perning, ditemukan fosil tengkorak anak-anak oleh Tjokro Handojo dan J. Duyfjes yang disebut Pithecanthropus Mojokertoensis.
Tahun 1941 ditemukan fosil Meganthropus paleojavanicus ( Homo erectus arkaiki) di Sangiran. Menjelang perang Dunia II, F. Weidenreich (1943) menemukan fragmen tengkorak Pithecanthropus di Sangiran.
1945 - ....
Penelitian manusia purba di Indonesia baru dapat dilakukan lagi setelah perang kemerdekaan dan keadaan Negara Republik Indonesia mantap. Sejak itu, penelitian-penelitian lebih banyak dilakukan oleh para peneliti Indonesia sendiri, diantaranya adalah Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada, S. Sartono dari Institut Teknologi Bandung. Dan R.P. Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sejumlah besar fosil manusia di temukan oleh para peneliti dari pusat penelitian Arkeologi Nasional dan berbagai lembaga penelitian asing yang bekerja sama dengan peneliti Indonesia. Diantaranya Japan International Cooperation Agency, The Biologisch-Archaeologisch Institute (Belanda), Museum National d’Histoire Naturelle (Perancis), dan University of Winconsin (USA). Sejumlah situs baru ditemukan diantaranya situs Miri (Sragen), Ngawi dan Rancah (dekat Ciamis) di Jawa Barat.
Penelitian manusia purba di luar Pulau Jawa pun Mulai dilakukan diantaranya di sekitar lembah Sungai Wallanae (Sulawesi Selatan), Flores dan Timor (Nusa Tenggara).
Peralatan yang dijuga dibuat oleh Homo Erectus ditemukan di beberapa situs di Pulau Flores oleh tim dari pusat Penelitian Geologi Bandung yang bekerja sama dengan Peneliti dari Belanda dan Australia. Bahkan pada tahun 2004 ditemukan fosil manusia kerdil di situs Leang Bua, Flores oleh tim dari pusat. Penelitian Arkeologi Nasional dan para peneliti dari Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood.
G.H.R von Koenigswald (1902-1982)
Gustav Heinrich Ralp von Koenigswald, berasal dari Jerman, tatapi kemudian menjadi warga Negara Belanda. Dua tahun setelah ia menamatkan kuliahnya di bidang geologi dan paleontology, ia bekerja di museum namun akhirnya ia putuskan untuk berangkat ke Indonesia (Hindia Belanda) karena pemerintah membutuhkan tenaganya. Ia tertarik pada evolusi manusia purba karena pengaruh ahli antropologi terkenal Rudolf Martin yang tidak lain adalah teman ayahnya.
Ketika tinggal di Jawa dengan staf peneliti di Dinas Geologi Bandung von Koenigswald tidak meneliti bidang Geologi, tetapi ia justru banyak meneliti fauna dan flora purba, antara lain di Mojokerto, Ngndong, Trinil dan Sangiran. Pada tahun 1939-an, ia banyak meneliti di Sangiran dengan dibantu oleh masyarakat setempat. Di situs ini ia banyak mendapatkan fosil manusia purba diantaranya Meganthropus Paleojavanicus dan Homo erectus. Karena kejeliannya juga ditemukan alat-alat serpih di Sangiran. Di Ngandong, bersama beberapa sejawatnya, ia juga menemukan fosil Homo Erectus Soloensis dengan beberapa alat batu dan tulang. Von Koenigswald juga tertarik untuk meneliti gua-gua di Pegunungan Sewu, terutama di daerah Pacitan. Dalam perjalanan, ia berhasil menemukan alat-alat batu berupa kapak perimbas di Sungai Baksoko. Di sekitar tempat itu, sejumlah fosil hewan purba juga ditemukan. Von Koenigswald adalah salah satu ahli yang tidak setuju dengan Eugene Dubois yang menganggap Homo Erectus sebagai “the missing-link”.
Dari penelitian terhadap geologi dan fosil hewan purba, von Koenigswald berhasil meletakkan dasar sejarah geologi Jawa. Ia menyusun lapisan-lapisan bumi di Jawa dan merekonstruksi fauna purba yang ada. Menurutnya, pada awalnya fauna di Jawa datang dari kawasan India (Siwa-malayan), tetapi pada masa sesudahnya lebih dipengaruhi oleh fauna yang berimigrasi dari Cina (Sino-malayan).
Generasi Penerus
Ketiga pelopor penelitian tersebut kini telah tiada, namun penelitian di Sangiran tidak akan pernah berhenti karena kiprah mereka akan tetap dilanjutkan oleh generasi penerus yang telah disiapkan oleh Indonesia sejak tahun 1985-an. Bidang Paleoanthropologi dari Prof. Dr. T. Jacob dilanjutkan oleh Dr. Harry Widianto, bidang Arkeologi Prasejarah dari Prof. Dr.R.P.Soejono dilanjutkan oleh Prof. Dr. Truman Simanjuntak, dan bidang Geologi dari Prof. Dr. S. Sartono dilanjutan oleh Prof. Dr. Yahdi Zaim dan Dr. Tony Djubiantono. Generasi penerus tersebut mendidik sebagai ahli di bidang masing-masing di Institut de Paleontologie Humaine, Museum National d’Histoire Naturelle, Paris, Perancis.
LAPISAN TANAH SANGIRAN
Berdasarkan hasil penelitian terbentuknya Kubah Sangiran merupakan peristiwa geologis yaitu diawali pada 2,4 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan,gerakan lempeng bumi,letusan gunung berapi dan adanya masa glacial sehingga terjadi penyusutan air laut yang akhirnya membuat wilayah Sangiran terangkat keatas, hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut.
a. Formasi kalibeng berumur 5- 1,8 juta tahun yang lalu, dengan lapisan :
01. Lapisan napal (Marl)
02. Lapisan lempung abu-abu (biru) dari endapan laut dalam
03. Lapisan foraminifera dari endapan laut dangkal
04. Lapisan balanus batu gamping
05. Lapisan lahar bawah dari endapan air payau.
Formasi Kalibeng merupakan lapisan stratigrafi di Situs sangiran yang paling tua, lapisan tanah ini merupakan endapan dari lautan yang hadir pada Akhir Kala Pliosen (kurang lebih 2 juta tahun yang lalu). Lapisan ini di dominasi oleh lempung abu-abu kebiruan (napal) dan lempung lanau, serta satuan pasir lanau dan gamping balanus. Satuan lempung abu-abu kebiruan itulah yang merupakan ciri khas endapan laut (marine) dan banyak terdapat fosil foraminifera (jenis Operculina) dan moluska laut (Turritela, Nassarius, Arca, Choine, Anomia, Turricula, Ostrea, Pleurotama, Murex dan Natica).
Keberadaan pasir lanau dan gamping balanus menandakan endapan dari laut dangkal dan formasi ini tersingkap di wilayah Puren dan Pablengan,dan pada masa ini belum ada kehidupan manusia maupun vertebrata karena lingkungan masih berupa lautan.
Saat laut mulai surut yang diakibatkan oleh proses pengangkatan regional dari kegiatan gunung api, dan juga dari proses glasial terjadi pendangkalan. Daratan yang terbentuk (gunung api dan perbukitan) menjadi luas oleh adanya pelapukan buatan gunung berapi, erosi perbukitan serta sisa-sisa organisme pantai. Vegetasi yang menonjol pada masa ini adanya perkembangan hutan bakau, akibat banyaknya aktivitas vulkanik maka hutan bakau mulai menghilang dan daratan semakin luas (A.M. Semah, 1984).
b. Formasi Pucangan (Sangiran) berumur 1.8 juta s/d 1 juta tahun lalu. Dengan lapisan:
01. Lapisan lempung hitam (kuning) dari endapan air tawar
02. Lapisan batuan kongkresi
03. Lapisan lempung volkanik (Tuff) (ada 14 tuff)
04. Lapisan batuan nodul
05. Lapisan batuan diatome warna kehijauan
Kemudian pada kala 1,8 juta tahun yang lalu terjadi peningkatan aktivitas vulkanik yang mingkin didominasi oleh kegiatan Gunung Lawu dan Gunung Merapi Purba dan material lahar dari kedua gunung tersebut terendapkan mengisi laguna-laguna yang ada di wilayah Sangiran sehingga mengendap membentuk lapisan-lapisan yang ada di bagian bawah Formasi Pucangan.
Formasi Pucangan yaitu formasi yang tersingkap antara lain di wilayah Cengklik, Bapang, dan Jagan. Lapisan ini didominasi oleh satuan breksi laharik yang mengandung lensa batu pasir silang-siur dan konglomerat vulkanik tipe endapan alur sungai. Satuan ini diendapkan oleh system arus pekat yang dikenal dengan istilah lahar hujan atau lahar dingin. Lapisan ini terdiri dari lapisan napal dan lempung hitam yang merupakan endapan danau air tawar dan zona Solo. Pada lapisan ini terdapat sisipan lempung berwarna kuning yang mengandung horizon moluska marine (Anadara, Conus, dan Murex). Horizon ini menunjukkan adanya transgresi laut secara singkat. Pada formasi Pucangan Bawah sudah banyak ditemukan fosil-fosil binatang vertebrata (bertulang belakang) yaitu antara lain : Gajah (Stegodon Trigonocephalus), Axis Lydekkeri, Panthera Tigris, dan Kuda Nil (Hexaprotodon Simplex) dan Tetralophodon Bumiajuensis.
Pada masa ini daerah Sangiran dulunya merupakan rawa pantai dimana terdapat endapan khusus yang disebut diatomit, yang mengandung cangklang diatomea lautan (alga silika mikroskopis). Vegetasi yang ada awalnya berupa hutan rawa yang kemudian karena adanya perubahan iklim maka berubah sifatnya menjadi hutan terbuka dimana pohon-pohon beradaptasi dengan musim kemarau yang keras. Binatang reptil seperti buaya dan kura-kura banyak juga yang muncul pada kala ini dan juga babi (Suidae) dan monyet serta pertama kali ditemukan adanya fosil manusia Homo Erectus dan Meganthropus palaeo-javanicuspada lapisan Pucangan bagian atas.
Masa glasial yaitu masa pembekuan es di kutub utara yang mengakibatkan terjadinya penyusutan air laut dan daratan pun terangkat ke atas dan berubah menjadi laut dangkal. Pada kala itu juga, aktivitas gunung berapi pun terjadi sehingga laharnya terendapkan di wilayah Sangiran dan lingkungan laut dangkal berubah menjadi lingkungan air payau. Menurut A.M. Semah, hal ini terjadi kira-kira 1,5 juta tahun yang lalu sehingga diendapkan lapisan lempung hitam Pucangan dan terbentuklah hutan payau dan hutan-hutan bakau.
c. Formasi Kabuh (Bapang) berumur 1 juta s/d 250 ribu tahun lalu. Dengan Lapisan:
01. Lapisan konglomerat
02. Lapisan batuan grenzbank sebagai pembatas
03. Lapisan lempeng vulkanik (tuff) (ada 3 tuff)
04. Lapisan pasir halus silang siur
05. Lapisan pasir gravel.
Pada masa berikutnya terjadi erosi di daerah Pegunungan Kendeng dari arah utara dan pegunungan selatan dari arah selatan yang membawa material gravel dan pasir, endapan ini bersifat klastik sehingga terbentuklah konkresi konglomeratan yang terdiri dari konglomeratan gamping dan pasir yang kemudian dikenal dengan sebutan grenzbank. Ini terjadi kurang lebih 900 ribu tahun yang lalu, erosi tersebut terjadi dari arah selatan ke utara dan menutupi perairan payau dan membentuk suatu daratan. Pada masa ini perairan sama sekali hilang dari wilayah Sangiran.
Pada lapisan ini ditemukan Meganthropus palaeojavanicus dan Crocodilus sp. Grenzbank yang berasal dari periode 900.000-800.000 tahun yang lalu, karena adanya proses pelipatan pada Pegunungan Kendeng maka relief yang sudah etrbentuk mengalami erosi sehingga banyak meterial yang terangkut oleh sungai dan diendapkan membentuk suatu konglomerat yang kasar. Endapan tersebut berupa endapan batu gamping calcareous dan batu pasir konglomerat. Lapisan ini yang menandakan bahwa perairan sudah benar-benar lenyap dari wilayah Sangiran.
Penelitian yang dilakukan oleh Missi Gabungan antara Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Museum national d'Histoire Naturelle Perancis pada lapisan ini berhasil menemukan fosil sisa manusia purba berupa fragmen tulang paha (femur) yang diberi kode Kresna 11 dan fragmen rahang bawah (mandibula) dengan kode Ardjuna 9. Pada formasi ini banyak juga ditemukan fosil-fosil mamalia dan tidak jarang temuan sisa-sisa koral.
d. Formasi Notopuro (Phojajar) berumur 250 ribu s/d 15 ribu tahun lalu. Dengan lapisan:
01. Lapisan lahar atas
02. Lapisan teras
03. Lapisan batu pumice
Pada sekitar 250.000 tahun yang lalu, lahar vulkanik diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang juga mengangkut material batuan andesit berukuran kecil hingga bongkah. Pengendapan lahar ini dimungkinkan berlangsung cukup singkat sekitar 70.000 tahun. Diatasnya kemudian diendapkan lapisan pasir vulkanik, dan ini lah yang menjadi bagian dari formasi Notopuro. Manusia purba saat itu telah memanfaatkan batu-batu andesit sebagai bahan pembuat alat-alat masif, seperti kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, bola batu dan kapak pembelah. Setelah pembentukan Notopuro, terjadilah pelipatan morfologi secara umum di Sangiran yang mengakibatkan Sangiran ke dalam bentuk kubah raksasa. Erosi kali Cemoro berlangsung terus menerus di bagian puncak kubah, sehingga menghasilkan cekungan besar yang saat ini menjadi ciri khas dari morfologi situs Sangiran.
Teori proses evolusi manusia
Pendapat para ahli tentang proses evolusi manusia dan peran Homo erectus, dalam proses evolusi mengalami perubahan dari jaman-ke jaman sejalan dengan perkembangan hasil penelitian terbaru. Selain itu tidak jarang diantara para ahli terdapat perbedaan dalam menentukan fosil manusia purba yang ditemukan. Meskipun secara umum disepakati bahwa secara garis besar proses evolusi itu berkembang dari genus Australopithecus, Homo habilis, Homo erectus, dan Homo Sapiens, tetapi para ahli memberikan alur evolusi yang berbeda dalam rinciannya, karena itu, kini ada beberapa versi teori proses evolusi manusia. Disini didapatkan dua diantaranya yang banyak dianut (versi Don Johanson-Tim Withe Model dan Bernard Wood, dalam buku The First Human) dan satu alur evolusi yang baru (menurut Foley)
•Homo erectus nenek moyang langsung Homo sapiens (Menurut Don Johanson)
Proses evolusi manusia menurut Don Johanson dan Tim White yang dianggap mewakili alur evolusi yang paling sederhana. Disini, Homo erectus berperan sebagai salah satu mata rantai yang menempati rangkaian evolusi yang segaris langsung menjadi manusia modern Homo sapiens.
•Homo erectus punah di Asia timur (Menurut Bernard Wood)
Proses evolusi manusia menurut Bernard Wood cenderung menempatkan Homo erectus di Asia di jalur makhluk yang punah dan tidak menurunkan Homo sapiens atau manusia modern. Alur evolusi seperti ini menegaskan bahwa manusia modern yang hidup di Asia Timur dan Tenggara adalah manusia pendatang baru dari Afrika sebagaimana diyakini oleh penganut teori penggantian (Replacement Theory).
•(Menurut Foley)
Berikut adalah mengenai rekam jejak dan budaya Homo erectus :
Rekam Jejak Homo erectus
1.Homo erectus menjadi manusia yang pertamakali benar-benar menunjukkan sifat-sifat kemanusiaan manusia baik dalam hal anatominya, kehidupan sosial, ekonomi, maupun mentalnya.
2.Homo erectus adalah manusia purba yang pertama yang memiliki volume otak besar, tubuh paling mirip manusia dengan kaki panjang dan lengan pendek, tidak lagi seperti kera.
3.Homo erectus menjadi manusia purba pertama yang berkelana keluar Afrika dan menghuni Eropa dan Asia.
4.Homo erectus adalah manusia pertama yang menyantap daging dari hasil buruannya sendiri dan tidak sekedar mengambil sisa hasil buruan makhluk lain.
5.Homo erectus menjadi manusia purba pertama yang mampu membuat tempat berkemah yang dapat menjadi markas mereka dalam kehidupan mereka yang lebih banyak berkelana.
6.Homo erectus adalah manusia pertama mampu membuat alat-alat batu yang bentuknya telah terpikirkan secara matang sehingga menghasilkan bentuk yang relatif seragam pada setiap jenisnya, misalnya kapak genggam.
7.Homo erectus adalah makhluk pertama yang menguasai api agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.
8.Homo erectus menjadi manusia pertama yang masa kanak-kanak lebih lama karena lindungan orangtuanya yang tetap memelihara mereka setelah penyapihan hingga akhil baliq.
9.Di Indonenia, Homo erectus menjadi pelayar pertama yang menyeberangi laut.
SITUS AIR ASIN
Sumber mata air asin berada di tengah persawahan penduduk. Mata air asin ini bisa keluar akibat tenaga dari dalam bumi yang mendorong keluar dan mendorong lapisan lumpur laut dari jutaan tahun silam akhirnya keluar dari permukaan tanah. Sangiran yang dulu merupakan laut dalam, akibat proses pengangkatan pulau Jawa akhirnya dulu daerah yang berubah laut berubah jadi rawa-rawa ini dibuktikan juga dengan daerah berupa endapan rawa berwarna kecoklatan dan diatome yang merupakan jejak endapan jasad renik. Disana pula terdapat tegalan sawah, dahulu merupakan rawa-rawa dengan sisa endapan rawa dan banyak sekali temuan gastropoda bertebaran di sana. Di titik ini pula, banyak ditemukan fosil-fosil tulang hewan purba.
Air asin yang terdapat di desa Pablengan Sangiran adalah sisa air laut yang terperangkap. Sangiran dulu adalah daerah pesisir pantai dan pada zaman Plestosen, wilayah Sangiran terdiri atas daerah payau dan hutan bakau. Namun setelah pengangkatan daratan, cekungan-cekungan daerah payau tersebut terperangkap sehingga menjadi danau air asin. Danau ini terjadi karena kandungan garam dari laut yang sudah mengkristal terkena air permukaan dan terangkut secara hidrologi, kemudian muncul lagi ke permukaan menjadi air asin. suatu saat kristal garam tersebut mungkin akan habis tererosi air hujan, terurai, dan menguap sehingga air asin semakin sedikit.
Indriaty, E. 2009. Warisan Budaya dan Manusia Purba Indonesia Sangiran. Klaten : PT Intan Sejati.
Tjiptadi, R. 2004. Museum Situs Sangiran Sejarah Evolusi Manusia Purba Beserta Situs dan Lingkungannya. Sragen : Koperasi Museum Sangiran.
www.sangiran-sragen.com
Oke guys, itu dulu ya informasi sekilas mengenai Museum Sangiran, kalau ada waktu mampir kesana biar tau lebih banyak lagi ...
0 komentar:
Posting Komentar